Irwandi Yusuf Perlu ABG

Header Menu

Irwandi Yusuf Perlu ABG

Fajri M. Kasem
Jumat, 25 Juni 2010

Oleh: Mukhlisuddin Ilyas
 
BARU kali ini saya merasakan dan membaca pernyataan Irwandi Yusuf begitu bijak, sportif dan terkesan Irwandi Yusuf “masih” membutuhkan masukan untuk membangun Aceh. Sebelumnya, hampir semua kalangan sipil di Aceh sudah mulai menganggap sinis dan apriori terhadap pola pembangunan Irwandi Yusuf. Apriori dimulai dari tidak bisa menerima kritikan, berlanjut pada realisasi investor yang tak jelas sampai kepada sikapnya yang frontal terhadap yang melawan kebijakannya yang tidak pro masyarakat.

Irwandi pernah mendapat sorotan tajam dan betubi-tubi beberapa bulan lalu oleh civil society di Aceh. Sorotan yang paling aktual adalah aksi keprihatinan puluhan mahasiswa dan aktivis menyangkut tiga tahun kepemimpinan Irwandi yang dinilai banyak pihak gagal dalam mereduksi kemiskinan, dan realisasi anggaran APBA 2008-2009. Disamping iklim investasi yang tak menentu, mutu pendidikan yang terus merosot dan suhu politik yang tak kondusif. Mengakibatkan Irwandi dan pasangannya yang telah memimpin Aceh 3 (tiga) tahun lebih, diberikan nilai “raport merah” oleh para aktivis lembaga sosial masyarakat. Kemudian muncullah demonstrasi yang “tak lazim” yang mendukung penguasa, yang menggangap Irwandi sudah sukses membangun Aceh, gerakan model ini tak diharamkan juga di alam demokrasi.



Perlu ABG
Untuk itu, sangat manusiawi bagi kita; karena mencintai Aceh, untuk memberi masukan kepada Irwandi walau permintaan itu sudah masuk detik injury time. Kita harus sepakat saja dulu, bahwa Irwandi masih terbuka peluang untuk memaksimalkan kontribusinya dalam memajukan Aceh di sisa kepemimpinanya dua tahun kedepan. Salah satu strateginya adalah dengan melibatkan ABG (Academic, Business, Government) untuk menyejahterakan rakyat Aceh. Menurut saya Irwandi sangat perlu ABG itu yang memiliki kapasitas kuat dan jam terbang luas. Bukan asal comot sama saja, seperti yang sudah-sudah.

Kenapa Irwandi perlu akademisi? karena ia hanya memiliki waktu lebih kurang 2 tahun lagi, makanya ia perlu akademisi yang dekat dan tahu kebutuhan rakyat dengan survei-survei cepat dan analis market yang berpengalaman. Ilmuwan perlu untuk memperkuat basis pemikiran gubernur dalam bentuk yang lebih implimentatif, bukan malah seperti yang saya rasakan beberapa pekan terakhir berinteraksi dengan professor sebagai tim penasehat gubernur. Suka mencipatakan masalah, malah takut kepada Irwandi bila mengeluarkan gagasan untuk diajukan kepada gubernur. Lucu sekali professor itu. Irwandi harus tegas dan harus melawan dengan sisa waktunya untuk melantik tim kerja ilmuwan yang mampu mencari jalan keluar, bukan malah menciptakan masalah. Ini penting untuk menjaga “marwah” Irwandi juga dengan sesama SKPD dan masyarakat umumnya.

Bagaimana Business (dunia usaha)? Irwandi harus tahu betul bahwa pengusaha memiliki peran yang signifikan dalam pembangunan Aceh. Irwandi masih terbuka peluang untuk memisahkan mana pengusaha yang memiliki komitmen memajukan Aceh, dan pengusaha yang sebatas mencari proyek APBA di Aceh. Kita harus jujur bahwa Aceh terpuruk salah satunya karena dosa pengusaha. Mulai sekarang, pengusaha harus memiliki komitmen yang sama dengan Irwandi untuk membangun Aceh. Pengusaha harus membangun Aceh secara bijak dengan membuka peluang kerja yang rakyat Aceh, bukan malah pengusaha menjadikan APBA sebagai target proyeknya. Di sinilah Irwandi harus mampu melirik pengusaha untuk membuka peluang kerja di Aceh. Irwandi harus melupakan Investor sejenak, lirik saja pengusaha nasional atau lokal yang memiliki niat membantu rakyat Aceh. Kalau dengan memerbanyak UKM saja, saya rasa Irwandi tak perlu lagi memikirkan investor sebesar PT Arun pun.

Bagaimana dengan pemerintah (Government)? Irwandi bagian dari pemerintah. Sisa kepemimpinan ini harus dimanfaatkan untuk menjaring PNS yang mampu menerjemahkan visi dan misinya. Irwandi harus melihat kembali 8 poin besar visi misinya itu. Kalau Irwandi gagal menciptakan mutu kerja PNS, kondisi kerja yang tak kondusif, pemberantasan pratik nepotisme, kolusi dan korupsi tak jelas ujungnya. Maka ini akan menjadi penyakit untuk pemerintahan berikutnya. Dan juga bom baru bagi kemajuan Aceh ke depan yang disemai oleh Irwandi.

Apapun kondisinya, bagi saya sebagai hamba daif, belum telat bagi Irwandi untuk memerbaiki sisa kepemimpinannya dengan kontribusi nyata dan subtantif untuk Aceh yang kita cintai ini. Saran terakhir, Irwandi perlu membuka kembali lembaran satu persatu visi dan misinya. Karena dengan waktu yang sakaratul maut ini, Irwandi harus melawan untuk maju, bukan malah “gaboek” dengan investor yang tak jelas itu. Benar Aceh perlu jalan tol, benar Aceh perlu pelabuhan bebas, benar semuanya. Tapi yang lebih benar dan rasional bila Irwandi mengakui bahwa ia benar-benar membutuhkan masukan dari semua elemen Aceh, bukan malah memarginal kaum yang memberi masukan untuk Aceh yang lebih baik.

Itu saja saran terakhir saya sebagai hamba daif, yang tak suka berpolitik tapi masih suka dengan mimpi memajukan Aceh. Untuk itu, sangat tak etis pula seorang Irwandi Yusuf sudah memikirkan jabatan gubernur jiid II. Tinggalkan sementara impian gubernur jilid II, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu segera dilakukan. Barangkali elemen ABG ini harus dimanfaatkan Irwandi secara baik pada periode ini. Kalau tidak, Irwandi akan dicaci maki oleh segenap rakyat Aceh. Dan tak pantas bermimpi untuk gubernur jilid II. Sebaliknya, kalau berhasil, Irwandi pasti akan dikenang rakyatnya.

* Penulis adalah penulis buku Aceh Romantisme Politik
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia edisi 27 April 2010