Teungku Latah

Header Menu

Teungku Latah

Fajri M. Kasem
Jumat, 25 Juni 2010

(Catatan untuk Jarjani Usman)
Oleh: Mukhlisuddin Ilyas

SEDIH dan tertawa membaca tulisan Jarjani Usman di rubrik Opini Harian Serambi (5/5) dengan judul “Kisah Teungku Mafia”. Sedih karena sifat generalisasi Jarjani Usman terhadap teungku dayah, seolah-olah berbicara dayah dan teungku semuanya karena uang. Jarjani Usman terlalu latah, mendengar perilaku tentang teungku dan dayah, tanpa pendalaman, survei cepat, lalu membangun asumsi baru lewat media ini bahwa Teungku (sebagian-teungku dayah) adalah mafia.

Kelatahan Jarjani Usman, telah membuat beberapa kawan yang berbasis dayah tradisional di Aceh geram kepada Jarjani Usman. Karena Jarjani Usman dengan congkak telah melakukan kesalahan fatal bahwa sikapnya yang menggeneralisasi bahwa teungku dayah kebanyakan meminta bantu untuk memperkaya diri. Padahal berbicara teungku di dayah saja itu memiliki empat model pendidikan dayah di Aceh.

Model Pendidikan Dayah
Saya percaya bahwa kelatahan Jarjani Usman kali ini karena ia merasa “geram” mendenger perilaku teungku dewasa ini. Dan yang lebih membahayakan adalah sikap Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) sebagai penyalur bantuan tak memiliki saringan yang bagus, karena memang proses dan berhentinya sebuah dayah tak ada sistem di Aceh ini. Yang lebih parah defenisi dayah saja dari tahun ke tahun, dari qanun 2000, 2003 dan qanun 2008 tentang pendidikan di Aceh, tak pernah baku.

Dulu dayah didirikan berdasarkan kebutuhan masyarakat (community need), sedangkan sekarang dayah didirikan berdasarkan kebutuhan para teungku (personal need). Seharusnya di sini Badan Dayah harus mengambil kebijakan tentang pelibatan monitoring masyarakat. Namun pelibatan masyarakat dalam proses penyaluran bantuan sebatas stempel kepala desa, akibatnya stempel palsu pun bisa dilakukan teungku.

Tapi Jarjani Usman lupa, atau barangkali terlalu latah tak sempat membuat survei cepat bahwa berbicara teungku di Aceh ada empat model; yang disertai dengan munculnya pelembagaan pendidikan berbasis dayah di Aceh. Dan ini sudah saya rilis sebagai hasil temuan penelitian sejak tahun 2008 lalu. Pertama adalah teungku dayah tradisional/salafi. Kedua teungku yang mengelola dayah modern. Ketiga teungku berbasis panti asuhan. Keempat teungku dayah kombinasi.

Dalam hal inilah, seharusnya Jarjani Usman lebih tegas dan fokus mengatakan bahwa teungku mafia ada di model jenis pendidikan A misalnya. Jadi pemerintah atau pengambil kebijakan memiliki informasi yang jelas bahwa model pendidikan A itu harus diobati, bila mungkin diamputasi.

Kalau misalnya Jarjani Usman menyakan kepada saya yang daif ini, maka bisa saya kasih gambaran berdasarkan pengalaman mendampingi bantuan kepada dayah dan penelitian selama lima tahun belakang ini; teungku mafia itu berada pada level lembaga pendidikan dayah berbasis panti asuhan dan dayah berbasis kombinasi. Sedangkan dayah salafi dan modern sudah jelas akar dan sistemnya. Disinilah seharusnya saran sekaliber Jarjani Usman harus fokus kepada Badan Dayah.

Jarjani harus tahu bahwa secara dejure dayah disupport oleh Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah (BPPD) dan Departemen Agama (Depag), namun secara defacto dayah juga ikut mendapat bantuan dari dinas sosial, dinas pendidikan, malah dari dinas PU juga. Support itu tak haram, karena sebagian dayah berdiri atas nama yayasan.

Makanya tak heran dayah tumbuh begitu dahsyat, karena sistem pemberian bantuan yang tak jelas selama ini. Terutama pada masa Irwandi-Nazar. Dalam hal dayah, secara keilmuan sedikit lebih maju pada masa Abdullah Puteh.

Badan Dayah Ompong
Badan Pendidikan dan Pembinaan Dayah lahir setelah melewati proses yang ketat. Dan satu-satunya di Indonesia yang ada badan khusus mengurus dayah. Sebelumnya dayah cuma diurus oleh unit kecil di Dinas Pendidikan Provinsi Aceh. Makanya wajar harapan besar menyelimuti kehadiran BPPD untuk membangun pendidikan dayah yang lebih baik.

Harapan besar, nampaknya masih menjadi utopia. BPPD tak mampu memberikan inovasi baru dalam mengurus pendidikan dayah di Aceh. Lihat saja tugasnya sebatas menjalankan program singkat, itu pun sebatas menghabiskan budget APBD. Jenis kegiatan yang dilakukan yang sempat saya catat adalah pertama kebijakan klasifikasi pendidikan dayah sejak tahun 2003, kedua registrasi pendidikan dayah, ketiga kebijakan pemberian batuan (jenis bantuan yang diberikan meliputi musalla, asrama murid, bangunan pengajian). Sedang yang sifatnya program yang pernah dilakukan BPPD adalah pelatihan komputer untuk santri, life skill menjahit/reparasi, ekstrakurikuler santri, musabaqah qiratul kutub, sayembara baca kitab kuning dan pelatihan jurnalistik bagin santri serta pengembangan kurikukulum dayah.

Untuk itu, saran yang mendesak untuk BPPD adalah menjadi leader untuk membuat diskursus dayah di Aceh. BPPD harus mengajak organisasi alumnus dayah, Depag, Diknas, Dinsos dan lembaga pemerintah lainnya untuk menyatukan persepsi tentang dayah. Dan hal yang paling mendesak lain adalah untuk membuka ruang yang satu atap dalam proses penyaluran pendidikan dayah di Aceh. Supaya upaya untuk melahirkan the real teungku segera terwujud.

Akhirnya setelah membaca paragraf pertama dan kedua tulisan Jarjani Usman membuat hati saya sejuk sejenak, paragraf berikutnya membuat saya gusar ketajaman tulisan jarjani Usman. Cukup disini saja dulu, ruang diskusi berikutnya kita serahkan kepada Pemerintah Irwandi-Nazar yang memiliki hajat besar untuk mengurus dayah secara benar, bukan malah memikirkan dayah sebagai “sumber” suara pada pemilu mendatang.

* Penulis adalah penulis Buku Aceh dan Romantisme Politik. 
Tulisan ini pernah dimuat di Harian serambi Indonesia